Sayap-Sayap Pengiring
Namun, seribu keinginan itu terhembus jauh
dengan satu tarikan nafas.
Ribuan tanya terhapus untuk satu kata: kejujuran.
Derap langkah muda-mudi berseragam putih-putih: kemejanya lengan panjang berkancing empat, dua kantung bajunya seperti jas almamater, tertempel didada kemeja kiri MPG1 emas, dan dua pangkat lekat di bahu kanan-kirinya. Rok dasar lipat tiga sedengkul untuk para mudi, dan celana untuk para muda. Dilengkapi sarung tangan putih garis tiga, juga kacu merah melingkar pada lehernya. Tak lupa peci hitam yang melekat garuda emas dibelah kirinya–lekat pada rambut di kepala mereka: mudinya berambut blow–dua jari bawah telinga, mudanya cepak layaknya ABRI.
Haruslah mudi pilihan yang berkewajiban membawa Baki. karena mudi itu harus bertatapan langsung pada Presiden RI–menyambut sang Saka Merah Putih dari mimbarnya. Pembawa Baki juga haruslah mudi yang memiliki lengan yang kuat, sebab Baki Nasional dalam membopong Bandera Pusakan memiliki berat kira-kira 6 kilo. Biasanya pembawa Baki tahan menghabiskan berpuluh-puluh puss up agar lengannya sepadan bersama Baki.
Pasukan Tujuh Belas menjadi sayap sang pasukan inti–Delapan, dan pasukan Empat Lima merupakan anggota keamanan Negara. Sejatiya pasukan Delapan dan Tujuh Belas adalah siswa-siswi SMA/SMK/MA se-Indonesia, yang masih duduk di kelas sepuluh dan sebelas. Mereka diseleksi dengan ketat dalam beberapa tahap dan persyaratan khusus. Persyaratan itu dinilai dari berat dan tinggi tubuh yang ideal, prestasi okey, tidak berpenyakitan: secara tampak atau tidak tampak–seperti penyakit kulit atau penyakit dalam–yang mengurangi kekuatan fisik, bahkan, kelengkapan gigi pun menjadi salah satu penilaian yang sungguh-sungguh diperhatikan. selain memiliki fisik yang kuat, mereka juga harus cantik-tampan disertai pekerti luhur. Menguasai ilmu akademik, pun non akademik. Serta yang diutamakan ialah gerakan LTBB-nya. Singkatan dari Latihan Teknik Baris-Berbaris. Lalu seleksinya bertahap, dimulai dari tingkat sekolah yang diseleksi oleh Pembina Paskibra masing-masing, lalu mereka diutus mewakili sekolahnya ke tingkat kota, hingga sampai pada tingkat Provinsi dan Nasional.
Amatilah nada hentakan sepatu PDH itu. Langkahnya serempak. Seirama. Geraknya sungguh tegap, segak. Perawakannya terpelajar, bersih, rapi dan disiplin. Aduhai, muda-mudi yang tertata dalam barisannya itu terlihat amat elegan, kamu membaca dalam senyum simpulnya. Apalagi saat barisan tiga banjar bersaf itu berpencar–bubar dalam barisan rapi teratur–serentak membuat sayap-sayap pengiring sang Tiga Tiang. Begitu estetis jarak-jarak mereka. Sebenarnya, yang membuatmu terpukau bukanlah kesepadanannya mengatur teknik beris-berbaris. Tapi, kau pasti terpukau pada gerak patah-patahnya yang lembut. Dalam hentakannya itu kautemukan kehalusan geraknya, bahkan mungkin lebih cantik dari yang kau pandang dalam gerakan si tari sanggar yang tampil di lapangan berumput hijau itu sedarinya–dalam pesta perayaan Tujuh Belas Agustus di Istanah Presiden ini.
Sejatinya, satu dari semua mata yang terlempar pada barisan Paskibraka itu ada satu hati yang terpaut ingin bergabung dalam barisan indahnya. Kamu bercita-cita menjadi pembawa Baki, Penggerek Bendera, Pengibarnya dalam pasukan inti. Atau kau masuk dalam pasukan Tujuh Belas saja sudah merupakan suatu keberuntungan. Ah, kau ingin sekali bergerak patah-patah seperti mereka.
♦♦♦
Cita-citaku menjadi Paskibraka Sejati. Kata orang tubuhku tinggi, wajahku cantik dan prestasiku gemilang. Awal tahun di SMA baruku, kupilih organisasi Paskibra. Disana kulatih fisik dan mentalku menjadi Paskibraka Sejati. Fajar menyingsing aku telah siap dalam kostum olahraga, sarapan susu kedelai dan telur ayam setengah matang. Siap berlarian mengelilingi lapangan bola. tak lupa kutenteng pelastik kecil yang berisikan gula merah sebagai penambah energiku. Empat-enam putaran seakan belum cukup bagiku, walau kausku telah bermandi keringat dan rambutku memercik-mercikkan air asin. Bila langit senja, aku berputar-putar di halaman rumahku, malakukan latihan berbaris itu: menjadi pasukan sekaligus menjadi pemimpinnya. Berteriak-teriak: “Hadap kiri g’rak! Balik kanan g’rak!”, lalu anggota tubuhku mekaksanakannya. Begitulah selanjutnya. Dalam melakukan aktivitas sehari-hari saja aku sudah seperti orang gila. Kemana-mana aku tak berjalan seperti biasa tapi setiap langkah kugunakan langkah tegap maju atau langkah biasa, jika berbelok kugunakan belok kanan atau belok kiri atau menggunakan haluan.
Kini, kelas sepuluh kulewati. Aku mendongak, kuingat lagi impian itu menjelang bulan Juni–bulan dimana seleksi pasukan Delapan dan Tujuh Belas itu akan dipilih. Satu setengah tahun sudah aku mematangkan gerakan LTBB-ku: Posisi sikap siap sempurna, bahu dibusungkan, tubuh tegap tak goyah oleh terpahan angin, tangan dan kaki rapat pada posisinya dengan kepalan tangan dalam TUS2, serta pandangan lurus kedepan, fokus pada satu titik bayang. Gerakan-gerakan dasar yang tepat: hormat tangkas dalam parade dan untuk perhatian. Jalan ditempat yang kokoh: bahu mantap tak bergoyang–posisi tubuh masih tegap, beban kaki terletak pada dengkul hingga mencipta gerakan yang segak tapi anggun. Hadap-menghadapnya: patah-patah. Sungguh sempurna LTBB-ku.
Teman aku telah lebih dari cukup bukan bila menjadi pembawa Baki Nasional itu. Atau aku berdiri dari satu petugas Tiga Tiang? Bagaimana pendapatmu?
♦♦♦
Aku menatap jarum jam yang makin lama makin berputar pelan, semakin pelan, lambat dan lama sekali–menurutku. Tepat pukul empat sore ini. Kak Ono pelatih Paskibraka Provinsi akan datang mengecek muda-mudi di SMA kami yang akan mengikuti seleksi Pasukan inti dan Sayap-sayapnya.
Pandanganku telah lekat ditiap detak jarum detik itu.
“Da! Kak Ono sudah berdiri di lapangan. Ia sudah memanggil penjuru3.” Teriak salah satu temanku dari tepi lapangan.
Aku bergegas masuk dalam barisan. Mengamati posisi aturan berbaris dari yang paling tinggi di saff depan banjar pertama–bagian kanan ialah penjuru, lalu, diurutkan tingginya, akupun ikut sibuk mengatur posisiku. Bukan! Aku pindah lagi kebelakang. Bukan juga. Aku mundur di baris paling kiri. Hingga aku baris hampir dua dari belakang.
Kusebarkan lirikan mataku dalam posisi kepala lurus memandang kedepan. Tidak teman, aku salah menilai diriku. Baru awal mentalku sudah jatuh. Lihat teman: Aku baris, tiga dari belakang, tahukah kau? Berarti aku tergolong bertumbuh pendek dibanding mereka. Banyak sekali muda-mudi yang bertubuh semampai. Aku kalut.
Tapi teman, semangatku tak putus. Kukeluarkan semua jurus LTBB-ku.
Lalu….
Tahukah kau aku menang! Kak Ono memujiku dalam tiga kalimat. Pertama, dari semua peserta seleksi: tubuhkulah contoh ideal. Kedua, ia menganugrahiku “Gerakan Matang”. Dan terakhir ia memperingatkanku: hati-hati pada tinggi badanmu! Untuk kau tahu tinggi mudi minimal 163 cm dan mudanya minimal 167 cm.
Aku bahagia bukan main. Semua teman-temanku memujiku. Aku diamanahi mematangkan semua gerakan-gerakan LTBB mereka. Dan dengan senang hati: aku menjadi guru baris-berbaris dadakan. Dengarlah dalam usia muda aku sudah memiliki murud-murid yang mereka adalah teman-temanku sendiri. Aku menang teman, karena semangatku.
♦♦♦
11 Mei 2007. hari penyeleksian dimana fisiklah yang menjadi patokan nilai. Mulai dari memeriksa parises, penyakit dalam, gigi, penyakit kulit, hingga berat dan tinggi tubuh. Semua peserta tes mengenakkan celana diatas dengkul dan baju kaos berlengan pendek, dengan mengalungkan Id Card di leher.
Giliranku masuk dan dicek fisik. Semua lancar teman tiada penyakit yang kuidap. Gigiku sehat, apalagi tubuhku, dan berat badanku ideal. Tapi petugas terakhir mengambil id card ku. Kuberikan saja, lalu aku beringsut keluar ruangan dengan hati bertanya-tanga??
Aku bersimpuh di batu sudut belakang ruang seleksi. Dalam diam kusebarkan pandangan pada muda-mudi yang berhamburan di depan mataku. Satu-persatu teman-teman se-SMA-ku menghampiri. Mereka menatap penuh tanya.
“Da, mana Id Card mu?” Ikhsan menunggu jawabanku.
Aku masih diam. Bayu juga bertanya dengan kalimat yang sama. Aku masih membisu. Lisga sudah lekat menatapku. Mereka bergantian bertanya karena Id Card itu tidak melingkar di leherku lagi.
“Da, tidak mungkin kau gugur, Da?” Tata bertanya polos.
Aku tak kuasa menahan kenyataan. Bahu Bayu pun basah karena menyeka air mataku. Mereka semua mengolok-olokku.
“Aku Menjinjit sedikit tadi Da, jadi tinggiku pas.” Ujar Niko.
Tangisku semakin tumpah.
Aku mambatin: Andaikan hal itu kulakukan, kan kupagang Baki itu. Kuraih cita-cita itu, kutuai kerja kerasku. Namun, seribu keinginan itu terhembus jauh dengan satu tarikan nafas. Ribuan tanya terhapus untuk satu kata: kejujuran.
Dalam irama isakan, aku mendengar bermacam-macam ocehan mereka.
“Da, kita bilang sama Kak Ono ya, ayo.” Izul memberikan solusi.
Aku menarik nafas panjang. Kusapu semua dukaku. Kusadari kenyataan. Aku berdiri tegar. Kusalami mereka semua dan kubisikkan pelan: Selamat Berjuang!!
Aku berlari menjauhi tempat seleksi, menciptakan jarak antara teman-temanku. Kurasa air mataku terbang keudara hampa menjadi kilau-kilau cita. Kujinjing ransel, dengan secarik kertas dalam genggamanku dan kubuka, ada angka yang tergores ditelapaknya ‘162,5 Cm’.
♦♦♦
SMS di terima:
Da, aku terbang ke Jakarta.
Menginjak Istanah Presiden. Kan kusampaikan
jabat tanganmu pada Baki itu ya. Terima kasih
atas segalanya teman. Tata.(*)
16.23 Lubuklinggau, 11 Agustus 2009
_______________________________
1. Singkatan dari Merah Putih Garuda.
2. Singkatan dari Tata Upacara Sekolah.
3. Muda-Mudi yang memiliki tubuh paling tinggi, baris di depan paling kanan, disebut sebagai Penjuru.
Biodata Penulis :
Elida Nurhabibah lahir di Lubuklinggau, 17 Januari 1991. Mahasiswa STKIP-PGRI Lubuklinggau, jurusan Pendidikan Bahasa Inggris di. Cerpennya Bulan Tak Bertiang dibukukan secara antologi dalam Kumpulan Cerpen dan Puisi FLP Lubuklinggau Disebuah Ruang Kuliah Seorang Guru Bercerita (April, 2009). Ia merupakan peserta Temu Sastrawan Indonesia II di Bangka (Agustus, 2009), aktif berprestasi, diantaranya: Dari Puisinya Kiamat – meraih Juara II Cipta Baca Puisi (Puisitisasi Al-Quran) tingkat SMA Sumatera Selatan (Oktober, 2007). Pernah diundang membacakan Puisi di depan Gubernur Sumatera Selatan (dalam puisi tunggalnya Bintang Maha Putra) di Gria Agung Sumatera Selatan (2008). Juara I Lomba Baca Puisi se-SMA Tk. Bhayangkara Kota Palambang (2006). Saat ini Penulis berdomisili di Lubuklinggau–Sumatera Selatan.
0 comments:
Post a Comment